Pada artikel kali ini mengambil tema hiking gunung papandayan. Tanpa panjang lebar saya ingin berbagi field report gunung papadayan bersama rekan-rekan saya. Malam itu Jumat,6 September 2013 kami ber-4 dengan formasi 3 pria dan 1 wanita, 2 tas carrier dan 1 tas daypack, 2 motor mio sekitar jam 9 malam meluncur dari salah satu rumah teman kami. Rencana jalur ialah Cikarang - Karawang - Cikampek - Padalarang - Bandung - Garut. Perjalanan malam hari memang lancar tetapi diharuskan lebih fokus dan tidak ngantuk karena dibeberapa spot merupakan jalur mobil-mobil besar hilir mudik. Setiap sekitar 2 jam kami berhenti untuk istirahat. Sepanjang itupun kami kadang berjumpa dengan rider lain yang sedang touring.
Setelah melalui jarak yang cukup panjang kami akhirnya melewati gerbang awal gunung papandayan. Tantangan lebih ada disini, karena motor kami harus di gas menaiki jalur yang menanjak dan di beberapa spot jalurnya rusak parah. Terpaksa penumpang di belakang harus turun sambil membawa tas berjalan menanjak. Suasana malam itu sedikit membuat saya takut karena memang keterbatasan lampu penerangan di sepanjang jalur. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 - 45 menit kami sampai di pos pendaftaran. Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul setengah 5. Dingin sudah menyeruak ke badan sampai membuat tangan saya mati rasa, ketika shalat saja rasanya dingin sekali tersentuh air.
Matahari mulai menunjukkan jatidirinya, hal itu kami manfaatkan untuk berjemur menghangatkan badan. Suasana pagi disana seperti gambar di bawah ini
Setelah badan cukup hangat kami kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Tantangannya disini ialah melewati jalan berbatu dan kawah-kawah kecil yang menimbulkan uap gas berbau seperti bau "kentut". Seiring perjalanan kami matahari pun sedikit demi sedikit naik menyertai kami. Sepanjang perjalanan kami menyapa sesama pendaki yang ada disana. Suasananya seperti gambar di bawah ini.
Disini sedikit ada insiden yaitu ketika kami berkolaborasi naik bukit yang bisa dibilang lulut ketemu dada, sedangkan tanah cukup licin dengan batu kerikil yaitu jidat rekan wanita terkena batu cukup besar dari atas. Alhasil, jidatnya merah tetapi Alhamdulillah hanya luka ringan. Foto di bawah ini adalah ketika saya sedang istirahat di atas.
Kemudian kami memasuki area hutan mati, entah kenapa dinamakan hutan mati. Namun, mungkin karena pohon-pohon disana memang terlihat mati hitam dan tak berdaun. Penampakannya seperti di bawah ini.
Kami melanjutkan perjalanan melewati kumpulan bunga Anaphalis javanica, yang dikenal secara populer sebagai Edelweiss jawa (Javanese edelweiss), adalah tumbuhan endemik zona alpina/montana di berbagai pegunungan tinggi Nusantara.[1] Tumbuhan ini dapat mencapai ketinggian 8 m dan dapat memiliki batang sebesar kaki manusia walaupun umumnya tidak melebihi 1 m. Tumbuhan ini sekarang dikategorikan sebagai langka (wikipedia). Penampakannya seperti di bawah ini.
Nah di sini kami sekalian numpang membersihkan nesting di aliran air yang jernih sambil beristirahat sejenak sebelum menuju Pondok Saladah.
Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan dan sampailah ke Pondok Saladah. Di sini kami mendirikan kemah dan merapikan barang-barang yang kami bawa. Di sini sudah lumayan ramai ditempati pendaki-pendaki lain yang juga mendirikan kemah bersama grupnya.
hari semakin siang, matahari semakin meninggi. Kami kemudian memasak mie untuk di makan bersama, setelah selesai kami beristirahat tidur di dalam tenda yang lumayan panas. Saya merasakan ketenangan dalam suasana seperti ini. Karena, "dipaksa" untuk terisolasi sementara dari kehidupan luar karena SIM card hp saya tidak dapat menangkap sinyal di daerah ini.
Sekitar jam 2 kabut mulai menyelimuti gunung dan udara sudah semakin dingin. Saya kemudian membangunkan teman saya yang masih tertidur untuk mencari kayu kering di hutan mati yang nanti dipergunakan sebagai api unggun. Saya dan teman saya mencari kayu bakar yang cukup besar dan cukup banyak. Di sana kami bertemu pendaki lain yang baru datang. Setelah mendapatkan kayu yang cukup kami berdua memandu kayu ini melewati genangan air menuju ke perkemahan.
Hari beranjak sore, kami bersenda gurau sambil menikmati suasana. Kemudian, datanglah seorang pendaki lelaki dari tenda tetangga yang ikut ngobrol bersama kami. Pendaki tersebut berasal dari Jakarta dan orangnya ramah. Suasana sore itu sangat meriah dipenuhi obrolan dan senda gurau sampai sekitar jam 16.00. Kemudian, sambil menunggu malam tiba kami jalan sore menuju daerah bunga edelweis yang indah. Tanahnya datar dan dikelilingi tanaman edelweis yang sedang berbunga yang membentuk koloni, disinipun tidak disia-siakan untuk berfoto bersama-sama. Sekitar pukul 18.30 WIB saya bertugas menyalakan api unggun dan teman saya membantu membangun tenda para pendaki yang baru saja tiba. Dengan keterbatasan bahan yaitu tidak adanya minyak tanah memang agak susah dan cukup lama untuk dapat membuat api unggun yang layak. Akhirnya dengan penuh kesabaran api unggun berhasil dibuat, kami kemudian duduk menghangatkan badan mengelilingi api unggun tersebut karena udara sudah mulai dingin bahkan membuat telapak tangan hampir mati rasa. Hidup di alam memang tidak boleh egois, para pendaki yang baru saja selesai membuat tenda yang berasal dari Bandung kami ajak bergabung menghangatkan badan di sekitar api unggun. Tak disangka mereka membawa cemilan dan minuman sachet untuk menghangatkan badan yang dibagikan kepada kami. Kami pun asyik ngobrol sambil minum jahe hangat dan makan berbagai cemilan. Setelah beranjak malam mereka pamit untuk masak hidangan malam dan kamipun sama memasak hidangan makan malam. Jangan berpikiran bahwa hidangan makan malam kami spesial dengan daging sapi/ayam. Tapi, jauh dari itu hidangan malam itu nasi+mie remukan berbumbu+ pilus. Walaupun memang terlihat sederhana tetapi kami memakannya dengan lahap, entahlah mungkin karena lapar atau suasananya yang mendukung.
Sekitar pukul 20.30 sambil ngobrol saya rebahan di matras sambil memandangi langit malam yang penuh dengan bintang yang indah. SubhanAllah luar biasa memang. Saya menapaki setiap sudut langit malam itu yang terlihat hanya bintang-bintang bersinar banyak sekali. Sebuah pemandangan yang jarang ditemui di daerah perkotaan. Sekitar pukul 21.00 kami beranjak tidur dengan berbalut sleeping bag.
Sekitar pukul 04.30 WIB hari minggu saya terbangun oleh alarm hp dan setelah itu sudah tidak bisa tidur kembali. Temperatur dingin mengharuskan saya untuk tetap memakai sarung tangan dan kupluk. Selang tidak beberapa lama teman saya terbangun, matahari mulai menapaki gunung menunjukkan sinarnya. Setelah gosok gigi kami kemudian berjemur di depan matahari pagi. Telapak tangan yang mati rasa perlahan menghilang digantikan hangat dari sinar matahari. Kami memasak dan kemudian kehabisan gas, disinilah penting bersosialisasi dengan sesama pendaki disana yang pada akhirnya kami dipinjamkan gas oleh pendaki lain. Setelah sarapan, melipat tenda dan merapikan semua perbekalan kami menuruni gunung sekitar pukul 09.00 WIB. Setiap melewati pendaki lain kami mengucapkan salam sebagai bentuk rasa persahabatan kami.
Kami melewati jalur yang berbeda dengan jalur pendakian tentu dengan suasana dan tantangan yang berbeda pula. Diawali dengan jalur setapak yang terlihat hasil dari bantuan manusia dengan tanah yang datar dan pohon-pohon meranggas yang menjadi kanopi menutupi kami. Mengintip dari celah pohon-pohon ini akan terlihat gunung dikejauhan dan menyadari kami berada di pinggir jurang.
Dilanjutkan dengan turunan yang cukup terjal, licin dan berbatu kecil-kecil. Beberapa kali kami beristirahat dan minum sambil menuruni jalan ini.
Setelah cukup jauh menuruni gunung sampailah kami dialiran sungai untuk beristirahat dan merefill perbekalan air minum yang kami bawa dengan air sungai ini. Dibeberapa sudut batu kami melihat coretan-coretan beberapa pendaki yang sudah pernah kesini yang tentu saja mengotori hutan dan tidak sedap dipandang. Air sungai ini ketika mengenai wajah sungguh segar dan ketika diminum dingin menyegarkan.
Kami melanjutkan perjalanan menuju lereng yang terdapat asap berbau seperti "kentut" yang saya ceritakan di atas. Kurang lebih sepanjang jalur penampakannya seperti di bawah ini.
Jalur selanjutnya adalah jalur yang kami naik yaitu jalur berbatu dengan kawah-kawah uap gas dan terdapat aliran sungai yang seprtinya airnya sudah tercemar.
Sampailah kami pada pos pendaftaran, setelah cek administrasi dan membeli beberapa cinderamata kami melanjutkan perjalanan pulang sekitar pukul 12.30 WIB. Untuk bagian ini tidak diceritakan karena sudah biasa yaitu ishoma dan membeli oleh-oleh khas garut. Alhamdulillah sekitar jam 22.30 WIB kami tidak di rumah.